Aspirasi dan Advokasi
NB: feed ini murni opini yang sangat mentah,
tanpa riset, tanpa kajian, tanpa literasi, tanpa kaidah penulisan yang berarti,
hanya sebatas curahan hati.
Keep calm :)
Menjadi
mahasiswa, tentu mempunyai kebebasan untuk menjadi sosok yang kita inginkan, apapun
bentuknya. Sosok akademisi? Aktivis? Atau apatis? Bisa juga menjadi
tiga-tiganya, asal pandai “menaruh pada tempatnya”. Berbagai sosok tadi dan golongan
mahasiswa lainnya bersinggungan baik langsung maupun tidak langsung dengan student government. Istilah ini macam
negara-negaraan di lingkup fakultas atau universitas. Ada pihak yang
menjalankan fungsi eksekutif, ada juga legislatif, ada juga yang menjalankan
dua-duanya dalam satu “negara-negaraan” itu. Tergantung “bentuk negara” yang masyarakat
fakultas atau universitas pilih. Nah,
fungsi masing-masing lembaga ini biasanya kembali dirinci di dalam landasan
hukum yang mereka pakai.
Ambil contoh
di “negara mahasiswa” deh. “negara
mahasiswa” ini mempunyai lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dalam
menjalankan fungsinya, si eksekutif mempunyai beberapa departemen yang relevan
untuk mewujudkan fungsinya. Begitu juga si legislatif, dia punya komisi yang
mendukung fungsinya. Oke, sampai disini ada dua tokoh, yaitu eksekutif dan legislatif mahasiswa.
Sebelum dua
tokoh ini lahir, tentu saja ada penyebabnya dan ada bidannya. Sederhananya, kelahiran
ini didasari atas keresahan yang dihadapi masyarakat. Masyarakat dalam lingkup
fakultas atau universitas berupa Keluarga Mahasiswa (KM). Sang bidan ialah
pemikir-pemikir terdahulu yang menggagas dan menyepakati lahirnya
lembaga-lembaga ini. Oke, disini ada penambahan tokoh, yaitu masyarakat.
Begitu lahir
dan dewasa, eksekutif dan legislatif akan menghidupi rumah tangganya sendiri
dengan membangun berbagai kelengkapan. Contoh kelengkapannya, rumah deh. Warna cat rumah si eksekutif dan si
legislatif misal krem dan abu-abu. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa si
legislatif dan eksekutif sama-sama mempunyai ruang tamu untuk mempersilakan
masyarakat masuk.
Masyarakat sih bebas mau masuk mana saja. Barangkali
jika tujuan mereka ingin curhat masalah dekorasi rumah, mereka akan merasa
lebih nyaman ke rumah si legislatif karena keibuannya. Barangkali jika mereka
ingin curhat mengenai jadwal liburan yang tertunda, mereka akan merasa lebih
nyaman ke rumah si eksekutif karena bijaksana dan langsung memberikan solusi
kongkret. Pemilik rumah, anggota keluarga maupun pembantunya tidak dapat
membatasi masuknya masyarakat ini.
Masyarakat
salah masuk rumah? Mungkin saja. Bahkan ketika sudah diberi tahu warna cat
rumahnya berbeda. Masyarakat tidak salah. Secara unggah-ungguh, pemilik rumah akan mempersilakan masuk dan
membuatkan minuman. Rumah legislatif berpeluang besar untuk dikunjungi oleh
masyarakat karena sebagian besar orang merasa lebih nyaman curhat dengan
perempuan.
Jika tamu
datang ke legislatif ingin belaja online,
idealnya si legislatif akan mengantarkan tamunya kepada eksekutif karena
eksekutif menguasai mekanisme belanja online.
Eksekutif selanjutnya akan mengarahkan tamunya untuk melakukan transfer dll.
Advokasi (?)
Begitu pula jika
masyarakat salah masuk rumah ke eksekutif. Jika masyarakat ingin Macbook,
idealnya si eksekutif akan mengantarkan tamunya ke legislatif karena legislatif
yang punya Macbook. Aspirasi (?)
Dalam hal ini
pemilik rumah mengenali batasan masing-masing.
Namun, hal lucu
terjadi ketika saudara kembar laki-laki dan perempuan yang sudah mempunyai profesi
sendiri saling curiga bahwa saudaranya akan menyabotase lahan pekerjaannya. Profesi
yang sama-sama sudah digariskan dari lahir dan sudah mapan begitu. Masih belum
diketahui apakah legislatif dan eksekutif ini akan terus beriringan atau tidak
jika curiga ini berkelanjutan.
Terus saja
curiga. Lupakan tentang bagaimana si kembar lahir. Lupakan tentang akses kesejahteraan
masyarakat. Peduli apa si kembar tentang masyarakat. Mungkin akan tiba saatnya masyarakat
jenuh pada ulah si kembar. Dimusnahkan, tercipta makhluk baru. Mungkin saja.
Comments
Post a Comment