Air dan Merapi, Sebuah Refleksi
Setiap jiwa tentu
tahu bahwa air mempunyai peran yang sangat vital bagi kehidupan. Namun
pernahkah kita berfikir darimana air yang sehari-hari kita gunakan ini berasal?
Bagaimana air hilang ketika kemarau kemudian datang berlimpah ketika hujan? Bagaimana
air berjasa dan kadang mengancam jiwa kita? Mari kita refleksikan!
Sebagai warga
yang tinggal di Jogja, isu air ini menarik untuk dikupas lebih jauh. Saat-saat
tertentu, sumur-sumur di daerah dataran rendah Jogja akan mengalami kekeringan.
Barangkali saat ini masyarakat Jogja sendiri menjadi biasa. Sebagian besar
orang mengira kasus ini adalah hasil tumbuh kembang perhotelan dan pusat
perbelanjaan di Jogja. Namun ketika dataran agak tinggi seperti Kaliurang
mengalami kekeringan, tentu saja kelimpungan mencari jawab, kok bisa. Tahukah
bahwa sejatinya sumber air dan penyokong kehidupan yang utama di Jogja adalah Merapi?
Merapi berperan
sebagai spons yang menjadi resapan air saat hujan, dan perlahan melepaskan air yang
ada di tubuhnya ke dataran rendah. Air inilah yang kita nikmati sekarang. Menurut
riset dari Fakultas Kehutanan UGM, butuh waktu kurang lebih 100 tahun untuk
mengalirkan air dari Merapi menuju daerah Bantul. Artinya jika saat ini terjadi
kekeringan di daerah dataran rendah, mungkin saja telah terjadi kerusakan di
daerah Merapi selama beberapa dekade terakhir.
Bisa kita
rasakan bahwa sedikit saja ekosistem Merapi terganggu, maka sebagian besar Jogja
akan merasakan akibatnya. Disinilah peran penting Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)
sebagai suatu sistem penyangga kehidupan bagi masyarakat sekitarnya. Namun
sayangnya, keberadaan TNGM saat ini sedikit terancam. Kawasan ini mulai
terfragmentasi oleh manusia untuk berbagai kepentingan. Penggunaan ini belum
diimbangi dengan pengembalian ke alam yang masif. Ketidakseimbangan ini dikhawatirkan
akan berpengaruh pada ketersediaan air di Jogja.
Jika kita
tengok perilaku masyarakat Jogja, banyak yang kurang bijaksana dalam memaknai
keberadaan air. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2015 sebanyak 3.679.176 jiwa
tinggal di Jogja dimana mereka semua menggunakan air. Peneliti UNY, Sudjoko menyebutkan
bahwa konsumsi air rata-rata di Jogja tahun 2007 mencapai 176,02 liter per
kapita per hari. Perlu diketahui bahwa konsumsi air di tempat yang tidak
menyimpan air justru lebih besar dibandingkan dengan daerah penghasil air. Hal inilah
yang menyebabkan berbagai konflik air sering terjadi.
Hari air
sedunia tidak boleh dimaknai sekedar selebrasi belaka. Perlu tindakan nyata
dalam menyelamatkan keberadaan air mulai dari lingkungan kita sendiri. Di
samping itu, sangat perlu dilakukan penjagaan daerah tangkapan air di Merapi
untuk menjamin kelestarian air di seluruh Jogja. Akhirnya, saling peduli tidak
hanya sesama manusia mendesak untuk dikampanyekan agar anak cucu kita masih
menikmati apa yang bisa kita nikmati saat ini.
Comments
Post a Comment